Rabu, 30 November 2011

SIRIUS KU

Sirius, itulah bintang paling terang di tiap malam. Itu adalah bintang harapannya. Bintang yang menjadikannya tetap menjaga ritme hidupnya. Pada bintang paling terang itulah harapannya digantungkan. Sejak lama. Selama bintang itu bersinar, maka harapanya akan tetap cemerlang. Dan dia berusaha meraihnya.

Aku menyebutnya perempuan Sirius.

Perjalanan penuh liku telah dilalui. Tak sedikit telah diraihnya. Berulang dan berulang. Mungkin juga sebanding dengan kegagalannya. Entahlah, untuk yang satu ini belum diketahui benar kondisinya. Namun dari jejak sendunya, jejak gamang, jajak kelam yang sering ditinggalkannya ditiap perhentian dan renungan, menyiratkan itu.

Pada satu titik, aku mengenalnya. Sungguh memesona. Rupanya terang bintang harapannya benar-benar memancar dari aura tubuhnya.  Dia berhasil menangkup spirit sang bintang paling terang, Sirius. Aku langsung merasa kecil dan redup dihadapannya saat pertemuan itu. Dia bisu, aku tergugu. Bahasa yang kami gunakan ternyata berbeda. Dia tak mengerti bahasaku. Namun entah kenapa dia bisa menangkap maknyanya. Setelah perjumpaan bertahun berikutnya baru ku tahu, kalau dia meminta temannya sebagai penterjemah rangkaian kata-kataku yang ku lontarkan kala itu. Cerdas.

Sejak saat pertemuan pertama, dan beberapa pertemuan singkat lainnya, aku menancapkan rasa pada sosoknya. Dalam bisu, diam. Karena kusadari aku hanya lelaki bergelimang tanah. Tak punya setangkup kecerahan bintang satupun. Rasa itu terpendam rapat, sangat rapat. Tak pernah berani berharap apapun. Hanya menjaganya, dan terus menjaganya. Menjaga rasa itu. Biarlah, rasanya sangat bahagia bisa memiliki rasa itu, meskipun hanya berhenti sampai di sana.

Setelah berbulan berselang. Tanpa satupun tegur sapa. Bahkan sosoknyapun menghilang. Di satu hari tampak kelebatan bayangannya. Terkesima, tergagap, bisu. Aku diam sesaat. Ada dorongan kuat untuk mengejar dan menggamitnya, kemudian menyapanya. Namun keraguan begitu kuat mengungkung.

Oh ya, mungkin semua karena satu hal, pada satu siang, kami bersapa singkat lewat telpon, sapa yang paling pertama. Kalau itu dia berkata, “hallo, nah sudah dengar suaraku sekarang bukan?”, yah benar, aku melayang kala itu. Kejadiannya memang karena aku memberi sinyal kalau ingin mendengar suaranya sekali waktu. Dan dia memenuhinya. Perempuan penderma.

“Ternyata suaramu, tidak sesangar yang kubayangkan,” itu katanya renyah.

Aku tersenyum, seperti melayang karna sanjungnya. Dan segera  terpatri wajahnya yang begitu manis, bahkan cantik di mataku. Kembali aku menjejak bumi. Takut melayang lebih tinggi, takut akan hempasannya ketika terjatuh nanti.

Sesudah hari itu. Sama sekali tanpa kata. Diam seribu basa, tak berani lagi memulai apa-apa. Semestapun bergerak. Hidup terus bergerak. Perempuan itu hilang dari jarak pandangku. Entah ke mana.

Bertahun kemudian. Kilasannya tiba-tiba muncul lagi. Dia seperti sosok yang terbangun dari tidur panjang. Yah, seperti kisah putri tidur yang terjaga setelah menerima kecupan sang pangeran. Kembali ragu menyapanya.

Beberapa hari hal itu terjadi. Sampai pada satu kesempatan, rasa ini tak bisa ditahan, pecahlah satu sapaan, “Hei, apa kabar?” Dari sapa sederhana ini terpaut beragam kata. Beragam cerita.

Setelah hari itu, beberapa kali kami bertemu dengan sapa singkat saja, seperti sambil lalu. Rupanya kali ini dia muncul benar-benar untuk meraih harapannya yang digantungkan pada bintang sirius. Aku terlonjak dibuatnya. Dia berada pada jalur yang tepat saat ini. Pikirku, dia akan meraihnya, dia akan menjadi bintang terang itu sendiri.

Hari-hari berikutnya, bulan berikutnya, aku seperti masuk dan di bawa ke dalam alam mimpi. Sosok ini ada dalam hidupku. Aku terbuai, melayang begitu tinggi. Sangat tinggi, Bahkan mungkin telah sampai ke langit ke tujuh. Entahlah, tapi begitu tinggi rasanya. Aku mulai takut terjatuh. Seorang yang berlumur tanah sekarang sedang ada di angkasa.

Pergerakan hari makin kencang. Perempuan Sirius perlahan bersimbah cerahnya sinar bintang harapannya. Semakin terang, semakin gemilang. Semakin banyak yang memandang. Semakin banyak yang meluangkan waktunya untuk memuja terangnya. Sementara aku, mulai pudar akan terangnya. Lambat namun pasti, tubuhku kembali ke ranah asalnya, bersimbah bumi. Redup. Sendiri. Bergelimang tanah.

Kini dia benar benar menjadi bintang paling terang, dia benar-benar menggapai harapannya yang dititipkan pada bintang sirius. Dan saat ini, dia telah menjadi Sirius itu sendiri.

Dia benar-bener manjadi Perempuan Sirius. Sosok bintang paling terang. Dan stananya kini di angkasa.

Aku menjejak bumi.

Dalam diam aku memuja harap: “Dapatkah semua itu, kebersamaan itu, keindahan itu, tak bertepi, sampai raga ini punah, melesak ke dalam bumi?”

[Aku adalah sang pemuja sirius
]